Mojokerto, 1 Oktober 2025 – Ancaman perubahan iklim dan meningkatnya risiko bencana menjadi perhatian serius berbagai pihak. Untuk menjawab tantangan tersebut, sejumlah pemangku kepentingan dari tingkat pusat hingga daerah berkumpul dalam kegiatan talkshow bertajuk “Membangun Ketangguhan Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim dan Bencana.”
Kegiatan ini menjadi ruang penting untuk memperkuat kolaborasi serta mendorong integrasi antara Indeks Desa (IDE) dan Penilaian Ketangguhan Desa (PKD) sebagai dasar perencanaan pembangunan yang lebih tangguh dan adaptif di tingkat desa.
Dalam diskusi yang dihadiri oleh perwakilan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Kementerian Desa PDTT (Kemendes PDTT), BMKG, Bappenas, dan BPBD Provinsi Jawa Tengah, terungkap satu pesan penting: bekerja sama dan menggunakan data yang terpadu adalah cara untuk membuat desa tangguh dan mandiri.
Risiko Tinggi, Tanggung Jawab Bersama
Hadi Sutrisno dari BNPB mengingatkan, Indonesia menempati peringkat kedua di dunia sebagai negara dengan risiko bencana tertinggi (WRI, 2022). Dari lebih dari 81 ribu desa dan kelurahan, sekitar 53 ribu di antaranya berada di wilayah rawan bencana dengan tingkat risiko sedang hingga tinggi.
“Pembangunan nasional tidak akan berkelanjutan tanpa ketangguhan di tingkat desa,” tegasnya. Data tersebut menjadi pengingat bahwa upaya pengurangan risiko bencana harus dimulai dari akar pemerintahan terdekat dengan masyarakat.
Kolaborasi Lintas Sektor untuk Desa Tangguh
Berbagai lembaga berperan aktif dalam membangun sinergi ketangguhan.
Dari BNPB dan Kemendes PDTT, kolaborasi yang disampaikan oleh Virza Ghazalba dan Lilis Yuliana menunjukkan hasil konkret: penggabungan Penilaian Ketangguhan Desa (PKD) ke dalam Indeks Desa (IDE). Integrasi ini telah mencakup lebih dari 75 ribu desa dan melahirkan dashboard “Katalog Ketangguhan” sebagai sumber data terpadu untuk perencanaan pembangunan. Efisiensi anggaran yang dihasilkan bahkan mencapai sekitar Rp1 triliun.
Dari sisi iklim, Marzuki, Direktur Layanan Iklim Terapan BMKG, menjelaskan bahwa tahun 2024 tercatat sebagai tahun terpanas, disertai tren kenaikan muka air laut sekitar 4,3 mm per tahun. BMKG terus memperkuat literasi iklim melalui program Sekolah Lapang Iklim (SLI) yang membantu masyarakat memahami pola cuaca ekstrem dan beradaptasi secara bijak.
Sementara itu, Bergas Catur Sasi Penanggungan, Kepala Pelaksana Harian BPBD Provinsi Jawa Tengah, menekankan pentingnya memperkuat kelembagaan di tingkat desa. Program Desa Tangguh Bencana (Destana) di Jawa Tengah digalakkan dengan dukungan berbagai pihak, termasuk perguruan tinggi, sektor swasta, dan relawan mahasiswa melalui KKN Tematik.
Dari Bappenas, Dinar Dana Kharisma menambahkan bahwa data ketangguhan harus benar-benar memberi manfaat bagi masyarakat. “PKD tidak boleh berhenti pada angka, tetapi harus menjadi alat agar desa yang belum tangguh bisa bertransformasi menjadi tangguh,” ujarnya.
Langkah Ke Depan: Data, Kolaborasi, dan Kesadaran
Hasil diskusi menyimpulkan bahwa membangun ketangguhan adalah proses jangka panjang. Ada tiga hal utama yang perlu terus didorong:
- Meningkatkan kesadaran publik terhadap ancaman perubahan iklim;
- Mengoptimalkan pemanfaatan data IDE dan PKD untuk kebijakan pembangunan desa;
- Memperkuat kolaborasi multisektor, termasuk dunia usaha, akademisi, dan masyarakat.
Menutup kegiatan, Virza Ghazalba menegaskan pesan penting:
“Ketangguhan bukan hasil instan, tetapi proses berkelanjutan yang harus kita rawat bersama – bukan hanya untuk hari ini, tapi juga untuk anak cucu kita di masa depan.”
Dengan semangat kolaborasi dan pemanfaatan data terpadu, diharapkan desa-desa di Indonesia dapat tumbuh menjadi komunitas yang lebih kuat, adaptif, dan tangguh menghadapi perubahan iklim maupun bencana alam.
0 Komentar