Menurut World Meteorological Organization (2012), kekeringan merupakan salah satu variasi iklim yang lazim, dan dapat terjadi di segala zona iklim, sedangkan kekeringan menurut Bapennas (1998) adalah kurangnya air bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya pada suatu wilayah yang biasanya tidak kekurangan air. Kekeringan berkaitan dengan neraca air berupa presipitasi (inflow) dan evapotranspirasi (ouflow). Kekeringan merupakan kondisi normal dari iklim di setiap wilayah. Proses terjadinya kekeringan diawali dengan berkurangnya jumlah curah hujan dibawah normal pada satu musim. Jumlah curah hujan yang rendah akan menyebabkan berkurangnya cadangan air tanah (kekeringan meteorologi), yang penting dalam kehidupan masyarakat. Jika terjadi dalam jangka waktu yang lama, kondisi di wilayah tersebut juga akan terganggu, mulai dari menurunnya tinggi permukaan air seperti sungai dan waduk (kekeringan hidrologi), hingga berkurangnya cadangan air untuk tanaman (kekeringan pertanian) yang banyak menyebabkan gagal panen, bahkan berpotensi menimbulkan kebakaran pada wilayah di atasnya.
Kekeringan adalah salah satu bencana alam yang terjadi secara perlahan (slow onset disaster) berlangsung lama hingga musim hujan tiba dan berdampak luas. Pada saat kekeringan ketersediaan air pada suatu wilayah ada dibawah kebutuhan air secara umum, baik untuk kebutuhan hidup, kegiatan ekonomi, peternakan, pertanian, dan ketahanan lingkungan sekitar. Kekeringan merupakan suatu peristiwa anomali kondisi cuaca yang menyebabkan berkurangnya curah hujan sehingga mengakibatkan ketidaksimbangan ketersediaan air secara hidrologi (American Meteorological Society, 1997).
Kekeringan merupakan salah satu bencana yang mengancam negara tropis dengan dua musim seperti di Indonesia. Sementara air berlimpah di musim penghujan, maka ancaman kekeringan akan terjadi saat terjadi musim kemarau yang panjang. Hal ini terutama terjadi di daerah yang curah hujannya rendah dan tidak memiliki kawasan resapan untuk mengikat air yang baik dan cukup untuk wilayahnya.
Kekeringan merupakan urutan pertama dari semua kejadian bencana alam jika dilihat dari sisi jumlah korban yang terdampak (Hewitt 1997, Wilhite 2000b). Menurut Wilhite (2000a), ada beberapa hal yang menyebabkan karakteristik kekeringan berbeda dengan bencana alam lain.
Pertama, awal dan akhir dari sebuah kejadian kekeringan sulit ditentukan, dampaknya meningkat secara perlahan, terakumulasi dalam waktu yang cukup lama, dan masih terasa setelah kekeringan tersebut berhenti atau dikenal dengan istilah creeping phenomenon.
Kedua, dampak kekeringan tidak terstruktur dan terjadi pada wilayah yang sangat luas dibanding dampak bencana alam lainnya seperti banjir, siklon, gempa bumi, dan tsunami. Oleh karena itu, kuantifikasi dampak dan mekanisme distribusi bantuan lebih sulit dibanding bencana lainnya.
Ketiga, aktivitas manusia dapat secara langsung menjadi pemicu yang memperparah kejadian kekeringan seperti praktik pertanian dan irigasi yang berlebihan, deforestrasi, ekploitasi air dan erosi akan menyebabkan menurunnya kemampuan lahan memegang air.
Kekeringan adalah salah satu bencana hidrometeorologi yang setiap waktu di Indonesia dipantau perkembangannya oleh BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika). Untuk menentukan tingkat kekeringan suatu daerah, BMKG menggunakan beberbagai macam model pengukuran yaitu:
1. Metode SPI atau The Standardized Precipitation Index
2. Metode SDPI atau Palmer Drought Severity Index
3. Metode SPEI metode Thornthwaite atau Standardized Precipitation Evapotranspiration Index
Sebagai gambaran untuk menentukan tingkat kekeringan suatu wilayah, dalam metode pengukuran berdasar skala pada SPI ada 4 kategori kekeringan, dikutip dari ClimatView WMO (World Meteorological Organization, 2012) yaitu:
1. Indeks dengan skala 0 s/d -0,99
Dikategorikan Kondisi Kekeringan Ringan atau masih dianggap dalam kondisi kering normal.
2. Kekeringan dengan skala -1.00 s/d -1.49
Dikategorikan Kekeringan Sedang.
3. Kekeringan dengan skala -1.5 s/d -1.99
Dikategorikan Kekeringan Berat.
4. Kekeringan dengan skala lebih kecil dari -2.0
Dikategorikan Kekeringan Ekstrim.
BMKG memiliki aplikasi monitoring kekeringan yang dapat diakses secara bebas oleh masyarakat melalui alamat websitenya: klimat.bmkg.go.id
Beberapa tahun terakhir ini, penelitian dan pemantauan kekeringan yang efektif dan tepat waktu telah dikembangkan. Indeks yang beragam juga digunakan oleh berbagai negara untuk memonitor kekeringan, baik yang berbasis data observasi maupun data satelit. Namun, perkembangan sistem peringatan dini dan prediksi kekeringan pertanian masih sangat lambat dibanding bencana alam lainnya. Salah satu penyebabnya adalah kompleksnya proses terbentuk dan berakhirnya kekeringan, sehingga sulit untuk mendapatkan prediksi kekeringan yang handal. Hal ini menjadi kendala atau salah satu kekurangan dalam membangun sistem peringatan dini kekeringan.
SUMBER:
Hatmoko, Waluyo, 2014, Naskah Ilmiah Analisa Kekeringan Untuk Pengelolaan Sumber Daya Air, Kementerian Pekerjaan Umum - Badan Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air, Bandung
Supratono, Dedy, Pendugaan Potensi Kekeringan Meteorologis Terhadap Kebakaran Hutan, EnviroScienteae, 2016
https://www.data.jma.go.jp/gmd/tcc/tcc/products/climate/climatview/spi_commentary.html
https://www.researchgate.net/figure/Standardized-Precipitation-Index-SPI-drought-categories_tbl1_279211956
https://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/index.php/jsl/article/view/6320/5543
https://klimat.bmkg.go.id
https://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/85469
https://simantu.pu.go.id/personal/img-post/superman/post/20181128144625__F__KMS_BOOK_20180727112623.pdf
0 Comments