Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno pekan lalu meminta seluruh pengelola destinasi wisata agar waspada terhadap potensi bencana hidrometeorologi berupa banjir, tanah longsor, dan angin kencang akibat cuaca ekstrem.
Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebut cuaca ekstrem yang terjadi belakangan ini dipicu fenomena La Nina “Triple Dip”. Fenomena La Nina sebenarnya sudah terjadi sejak pertengahan tahun 2020 dan diprediksi akan tetap berlangsung hingga akhir tahun 2022. Bahkan kemungkinan berlanjut hingga awal tahun 2023, sehingga disebut La Nina “Triple Dip”.
La Nina adalah fenomena mendinginnya suhu permukaan laut di Samudra Pasifikbagian tengah dan timur di bawah kondisi normalnya. Secara umum, fenomena itu membawa dampak naiknya curah hujan di Indonesia, termasuk Yogyakarta.
Perhatian Khusus
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat selama tiga pekan terakhir setidaknya telah terjadi 227 bencana hidrometeorologi di seluruh Indonesia. Dari jumlah tersebut, bencana tak hanya menimpa wilayah permukiman saja. Akan tetapi, bencana juga melanda destinasi wisata.
Misalnya di Pantai Gemah yang menjadi objek wisata unggulan di pesisir selatan Kabupaten Tulungagung, Jawa Timur. Destinasi wisata itu mengalami rusak parah akibat banjir disertai longsor yang menerjang kawasan tersebut pada Senin (10/10) lalu. Tak hanya itu, dua hari sebelumnya, sejumlah destinasi wisata di Bali juga terendam banjir. Akibatnya sebanyak 153 wisatawan di Seminyak Bali dievakuasi.
Kondisi demikian semestinya menjadi perhatian khusus bagi para pemangku kepentingan (stakeholders) sektor pariwisata di Yogyakarta. Pasalnya, destinasi wisata menarik di Yogyakarta umumnya berada di daerah keindahan alam, seperti garis pantai, gunung, sungai dan perbukitan. Tentu, lokasi itu rawan terhadap bencana hidrometeorologi.
Selain itu, sejumlah titik di kawasan tersebut juga masih termasuk area blank spot (tidak tersentuh sinyal komunikasi). Catatan Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) DIY hingga kini kurang lebih masih terdapat 150 area blank spot di DIY. Misalnya di kawasan lereng Gunung Merapi, perbukitan Menoreh, Pegunungan Seribu dan Pantai Selatan yang kini berkembang menjadi destinasi wisata alam.
Di tengah cuaca ekstrem saat ini, jaringan komunikasi tentu sangat diperlukan guna mengurangi risiko bencana bagi para pelaku destinasi wisata dan wisatawan melalui Early Warning System (EWS). Tanpa ada jaringan tersebut, tentu keamanan baik pelaku wisata maupun wisatawan tidak terjamin. Menjadi penting sekali sektor pariwisata di DIY memiliki kapasitas untuk mencegah dan meminimalkan dampak negatif dari bencana (resiliensi). Agar keamanan dan keselamatan pengelola destinasi wisata maupun wisatawan terjamin.
Berperan Vital
Resiliensi sektor pariwisata dapat diwujudkan dengan penyediaan infrastruktur mitigasi bencana di setiap destinasi wisata. Yakni adanya sarana dan prasarana evakuasi dan penyelamatan, seperti peta jalur evakuasi, rambu jalur evakuasi, titik kumpul, pos Kesehatan dan lain sebagainya.
Pengelola destinasi wisata harus memiliki keterampilan dalam mitigasi bencana. Misalnya kemampuan asesmen bahaya di destinasi bencana, penggunaan alat-alat saat tanggap darurat hingga keterampilan dasar pertolongan pertama pada kecelakaan (P3K). Pada 2021 lalu, pengelola destinasi wisata di 15 lokasi telah diberikan pelatihan mitigasi bencana oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY.
Upaya tersebut tentu perlu disokong dengan adanya pengintegrasian pengurangan risiko bencana dalam setiap kebijakan pengembangan pariwisata di DIY. Dengan kata lain, Rencana Induk Pembangunan Kepariwisatan Daerah (Ripparda) DIY tidak hanya berorientasi pada peningkatan angka jumlah kunjungan wisata, lama tinggal atau jumlah uang yang dibelanjakan. Akan tetapi, juga berorientasi pada pengurangan risiko bencana demi terciptanya industri pariwisata DIY yang berkelanjutan. Ini penting diwujudkan! Mengingat sektor pariwisata di DIY berperan vital dalam sektor perekonomian masyarakat secara langsung maupun tidak langsung.
Fadri Mustofa, S.IP
Analis Bencana BPBD DIY
*Artikel ini pernah dipublikasikan di Kedaulatan Rakyat edisi Rabu, 9 November 2022 hal. 11.
0 Komentar