BENCANA kekeringan kembali melanda DIY. Sebagian masyarakat di Kabupaten Bantul, Gunungkidul, dan Kulonprogo mengalami krisis air bersih. Terbaru, Pemerintah Kabupaten Bantul dan Gunungkidul mengeluarkan kebijakan siaga darurat kekeringan sebagai upaya antisipasi terhadap dampak yang kian meluas (KR, 16/8)
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyampaikan bencana kekeringan ini dipengaruhi oleh fenomena iklim El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD) yang muncul secara bersamaan. El Nino dan IOD merupakan fenomena global yang berdampak terhadap pola curah hujan di Indonesia. El Nino dikendalikan suhu permukaan air laut di Samudera Pasifik. Sedangkan, IOD positif dipengaruhi suhu permukaan air laut di wilayah Samudera Hindia. Kini, keduanya turut memperburuk kondisi kekeringan di wilayah Indonesia. Bencana kekeringan akibat dua fenomena itu terakhir terjadi pada Juli-Oktober 2019.
BMKG juga mengingatkan musim kemarau tahun ini lebih kering dibandingkan musim kemarau tiga tahun terakhir. Parahnya, situasi ini bakal berlangsung lama. Yakni puncak El Nino akan terjadi sekitar Oktober-November. Sedangkan puncak musim kemarau terjadi sekitar Agustus hingga September.
Efek Domino
Bencana kekeringan memiliki efek domino yang mempengaruhi berbagai sektor kehidupan. Krisis air mampu mempengaruhi sektor pertanian, mengurangi produksi pangan, dan mengancam ketahanan pangan. Selain itu, kekeringan juga bisa merusak lingkungan, mengganggu ketersediaan air bersih, serta memengaruhi kesehatan dan ekonomi masyarakat secara keseluruhan.
Pemda DIY melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY pertama-tama memastikan seluruh wilayah terdampak kekeringan yang tersebar di Kabupaten Gunungkidul, Bantul, dan Kulonprogo sudah terjangkau pasokan air bersih. Hingga kini, krisis air bersih di wilayah terdampak kekeringan masih bisa ditangani langsung oleh masing-masing kabupaten.
Selanjutnya, Pemda DIY melalui Dinas Pekerjaan Umum, Perumahan, dan Energi Sumber Daya Mineral (PUP-ESDM) juga akan membuat sumur bor di sejumlah wilayah terdampak kekeringan. Sebelumnya, pada 2021-2022 lalu, Dinas PUP-ESDM DIY pernah membuat 30 sumur bor dan berhasil mengatasi masalah kekurangan air akibat kekeringan. Lalu, Pemda DIY melalui Dinas Sosial juga sudah menyiapkan 230 tanki dengan kapasitas masing-masing 4 ribu liter air bersih untuk disalurkan ke wilayah terdampak kekeringan. Hal ini penting mengingat kebutuhan air bersih adalah kebutuhan vital yang tak bisa ditunda ataupun dibiarkan.
Jauh sebelum kejadian ini, Pemda DIY melalui Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) mengimbau para petani untuk menyesuaikan pola tanam. Petani dianjurkan beralih ke pola tanam palawija saat mendekati musim kemarau. Namun, bagi petani yang memiliki akses irigasi yang memadai tetap bisa menanam padi. Salah satu varietas padi yang tahan terhadap kondisi musim kemarau adalah Padi Cakrabuana.
Kolaborasi Aktif
Berbagai upaya tersebut, penting dilakukan. Tapi, bencana kekeringan tahun ini mestinya jadi peringatan terakhir bahwa solusi yang ada selama ini belum benar-benar optimal. Krisis air yang terus berulang menunjukkan perlunya pendekatan yang lebih holistik dan terintegrasi. Permasalahan kekeringan tentu bukan hanya tanggungjawab satu pihak atau sektor saja. Maka, kolaborasi antarberbagai pihak menjadi sangat penting untuk mengatasi tantangan ini.
Upaya kolaboratif bisa mencakup penguatan infrastruktur air seperti penghijauan dan pelestarian lingkungan, pembuatan dan pemeliharaan sumur bor, peningkatan kapasitas embung, perbaikan dan penambahan jaringan pipa serta pengembangan teknologi penyimpanan air. Selain itu, penting meninjau ulang tata ruang, perencanaan pembangunan dan pola penggunaan lahan yang ada. Penetapan daerah-daerah hijau, pengelolaan sumber daya air, dan pelestarian ekosistem menjadi komponen penting dalam merancang tata ruang yang adaptif terhadap risiko bencana.
Fadri Mustofa SIP
Analis Bencana BPBD DIY
* Tulisan ini pernah dipublikasikan di Kedaulatan Rakyat tanggal 23 Agustus 2023.
0 Komentar