Jagat maya Yogyakarta belum lama ini ramai dengan penemuan sesar gempa baru bernama Sesar Mataram. Hal itu diungkap pertama kali oleh Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof. Dr. Danny Hilman Natawidjaja dalam acara "Workshop Nasional Perkembangan Pemutakhiran Peta dan Sumber Bahaya Gempa Indonesia Terkini" akhir tahun lalu.
Menurutnya, Sesar Mataram bukan sesar yang benar-benar baru. Sebab, Sesar Mataram bagian timur sebelumnya sudah dikenal sebagai sesar Dengkeng. Konon, keberadaan sesar Mataram berpapasan dengan Sesar Opak, dimulai dari utara Candi Boko dan memanjang di sekitar selokan Mataram. Sesar Mataram adalah kelanjutan Sesar Dengkeng yang melintas dari timur ke barat. Temuan awal itu didukung dengan pemetaan topografi dan juga survei lapangan. Data-data tersebut kemudian diteliti dengan metode geolistrik untuk memindai kondisi bawah permukaan.
Selama ini belum ditemukan sejarah aktivitas kegempaan di sepanjang sesar Mataram. Berdasarkan catatan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika(BMKG), sepanjang periode 2009 sampai 2021, wilayah yang dilalui Sesar Mataram tidak menunjukkan aktivitas kegempaan. Meski demikian, temuan ini jelas tak bisa diabaikan begitu saja. Pasalnya, menurut Pakar Geofisika Universitas Gadjah Mada (UGM) Wiwit Suryanto munculnya sesar atau patahan-patahan baru di wilayah DIY sangat memungkinkan dipicu gempa sebelumnya.
Mengenal Bahaya
Di DIY sendiri tercatat ada beberapa sesar, yaitu Sesar Opak, sesar Subduksi, sesar Progo, sesar Dengkeng, dan sesar Oya. Adapun sesar yang sudah dipastikan aktif adalah Sesar Opak. Sesar ini disinyalir menjadi pemicu terjadinya Gempa Yogya 2006 lalu. Dan sejak 2006, sesar ini juga konsisten memproduksi gempa meski dalam skala kecil. Kondisi demikian tak pelak menjadikan DIY sebagai daerah rawan bencana gempa bumi berkategori tinggi (Kajian Risiko Bencana DIY, 2022).
Penemuan Sesar Mataram ini semestinya tak perlu disikapi dengan kepanikan. Sebaliknya, 'secuil' informasi ini harus dijadikan bekal agar kita selalu waspada terhadap bencana. Sebab, hingga kini belum ada metode yang pas untuk memprediksi kapan terjadinya gempa bumi di suatu daerah.
Usai mengenali dan menyadari ancaman bencana di sekitar kita, langkah selanjutnya adalah mengurangi risiko. Dalam hal ini, Pemda DIY melalui Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) telah melakukan edukasi kesiapsiagaan bencana di sejumlah kalurahan/kelurahan serta sekolah/madrasah. Hingga kini sebanyak 213 Kalurahan/Kelurahan Tangguh Bencana (Kaltana) dan 201 Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) sudah terbentuk.
Konstruksi Bangunan
Upaya tersebut belum cukup. Ada hal-hal mendasar lainnya yang perlu dilakukan. Dalam hal gempa, kita semua tentu sepakat bahwa gempa sebetulnya tak membunuh dan melukai. Penyebab jatuhnya korban jiwa dan luka-luka adalah ambruknya bangunan yang tak sesuai standar aman gempa.
Lalu, apakah konstruksi bangunan yang sesuai dengan standar aman gempa sudah cukup dalam memitigasi gempa? Ternyata tidak! Konstruksi bangunan hanyalah salah satu faktor. Faktor terpenting lainnya adalah lokasi bangunan yang semestinya tak boleh berada di atas jalur sesar. Belajar dari Amerikat Serikat misalnya, sejak 1977 lalu ditetapkan jarak aman bangunan dari jalur sesar utama sejauh 150 meter dan 60 meter dari cabang sesar. Sayangnya, ketentuan seperti itu belum ada di Indonesia. Konon, salah satu kendalanya adalah sebagian besar jalur sesar di Indonesia belum dipetakan secara detail.
Penemuan Sesar Mataram ini seharusnya menjadi momentum penting untuk kembali meneliti jalur sesar di DIY. Apabila sudah terpetakan secara detail selanjutnya perlu adanya peninjauan ulang dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL). Hal ini penting agar aspek mitigasi dan adaptasi bencana menjadi perhatian utama dalam penataan ruang kedepan.
Fadri Mustofa, S.IP
Analis Bencana BPBD DIY
* Tulisan ini pernah dipublikasikan di Kedaulatan Rakyat edisi 10 Maret 2023 hal 14.
Gambar : BMKG
0 Komentar